• I’tikaq (Kepercayaan) Pada Masa Hidup Nabi Muhammad SAW


    Pada masa Nabi Muhammad saw. masih hidup semuanya mudah dan gampang, karena segala sesuatu dapat ditanyakan kepada beliau.

    Sahabat-sahabat Nabi berkumpul di hadapan Nabi untuk mendengarkan Wahyu Ilahi yang turun sewaktu-waktu. Ada diantara mereka yang menuliskan wahyu itu dan ada yang menghafal saja di luar kepala.

    Allah subhana wa ta’ala berfirman ;

    وَإِلَٰهُكُمْ إِلَٰهٌ وَٰحِدٌ ۖ لَّآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ ٱلرَّحْمَٰنُ ٱلرَّحِيمُ

    Artinya : “Dan Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Esa, tiada Tuhan selain Dia, yang Pengasih dan Penyayang” (Q.S Al-Baqarah : 163)

    Para sahabat Nabi karena mereka orang ‘Arab, sedang Quran (wahyu Ilahi) dalam Bahasa Arab pula, maka dapat menangkap isi dan arti yang hakiki dari ayat-ayat Quran itu sehingga mereka yakin bahwa Tuhan Esa, sifatnya Pengasih dan Penyayang. Mereka tidak tanya lagi.

    Kemudian turun lagi ayat suci ;

    قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ (١)اللَّهُ الصَّمَدُ (٢)لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ (٣)وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ (٤)

    Artinya : “ Katakanlah (hai Muhammad); Tuhan tunggal, Tuhan tempat meminta, Ia tidak mempunyai anak, dan tidak seorang pun yang menyerupai-Nya” (Q.S Al-Ikhlas : 1-4)

    Para sahabat Nabi mendengar dan membaca ayat ini lantas yakin seyakin-yakinnya, bahwa Tuhan Namanya Allah, Ia Tunggal (Esa) bukan dua bukan tiga. Ia bukan bapak, Ia bukan anak seseorang, sebagai tanggapan orang Nashara kepada tuhan mereka, dan tidak ada seorang pun yang menyerupai-Nya.

    Dan Allah menurunkan ayat ;

    كُلُّ مَنْ عَلَيْهَا فَانٍ (٢٦) وَيَبْقَى وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلالِ وَالإكْرَامِ (٢٧)

    Artinya : “Sekalian yang ada akan lenyap, yang kekal hanya Zat Tuhanmu, yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan” (Q.S Ar-Rahman : 26-27)

    Yakinlah sahabat-sahabat Nabi bahwa semuanya akan lenyap dan yang kekal hanya Allah yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.

    Walaupun dalam ayat ini dikatakan “وجه” yang berarti “muka”, tetapi para sahabat tidak repot soal itu, karena mereka tahu bahwa yang dimaksud dengan “وجه” dalam ayat ini ialah Zat-Nya, sesuai dengan sastra Arab di mana biasa dipakai perkataan yang menunjukkan juzu’ tetapi yang dimaksud adalah kul nya, yakni keseluruhan.

    Perselisihan faham timbul sesudah Nabi wafat

    Setelah Nabi wafat saat akan mencari khalifah pengganti Nabi terjadi pebedaan pendapat antara kaum Anshar dan kaum Muhajirin yang masing-masing mengemukakan calon dari pihaknya. Dari kaum Ashar mengemukakan Sa’ad bin Ubadah dan Kaum Muhajirin mengemukakan Umar bin Khatab atau Abu Bakar.

    Dalam pertemuan itu tidak ada seorang pun yang mengemukakan Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah pertama pengganti Nabi. Faham kaum Syiah belum ada saat itu. Perselisihan pendapat antara kaum Anshar dan kaum Muhajirin tidak menimbulkan firqah dalam agama, karena perselisihan itu sudah selesai saat Abu Bakar sudah terangkat dan terpilih secara aklamasi (suara sepakat).

    Pada tahun 30 Hijriyah timbul faham  Syi’ah yang dikobarkan oleh Abdullah bin Saba’ yang beroposisi terhadap Khalifah Utsman bin Affan. Abdullah bin Saba’ adalah seorang pendeta Yahudi dari Yaman yang masuk Islam.

    Setelah terjadi peperangan Siffin, peperangan saudara antara sesama Islam, yaitu antara tantara Khalifah Ali bin Abi Thalib dengan tantara Mu’awiyah bin Abu Sofyan (Gubernur Syria) pada tahun 37 Hijriyah timbul pula firqah Khawarij, yaitu orang-orang yang keluar dari Muawiyah dan dari ‘Ali ra.

    Pada permulaan abad ke II H timbul pula Kaum Mu’tazilah, yaitu kaum yang dipimpin oleh Washil bin ‘Atha’ (lahir 80 H – wafat 113 H). dan Umar bin Ubeid (wafat 145 H).

    Kaum mu’tazilah ini mengeluarkan fatwa yang berlainan dan berlawanan dengan I’tikad Nabi dan sahabat-sahabat beliau. Diantaranya, adanya “manzilah bainal manzilatein”, yakni ada tempat diantara dua tempat, maksudnya ada tempat selain surga dan neraka. Sifat Tuhan tidak ada, Quran itu makhluk, mi’raj Nabi hanya dengan ruh saja, pertimbangan akal lebih didahulukan dari hadits-hadits Nabi, surga dan neraka akan lenyap, dan fatwa lain yang keliru.

    Kemudian timbul pula faham Qadariyah yang mengatakan bahwa perbuatan manusia diciptakan oleh manusia sendiri tanpa ada campur tangan Tuhan.
    Kemudian timbul pula faham Jabariyah yang mengatakan bahwa yang terjadi adalah dari Tuhan, manusia tidak punya daya apa-apa, tidak ada usaha dan ikhtiyar.

    Kemudian timbul pula faham Mujassimah, yakni faham yang menyerupakan Tuhan dengan makhluk, punya tangan, punya kaki, duduk diatas kursi, turun dari tangga serupa manusia, Tuhan adalah cahaya seperti lampu dan lain-lain.


  • You might also like

    Tidak ada komentar:

    Posting Komentar